Syuting 12 Jam? Filmmaker Nekat, Harus Tahu Resiko.

Yogyakarta, 23 September 2025 — Pernahkah kamu mendapatkan beban kerja berlebihan saat syuting, bahkan hingga harus bekerja 18 sampai 20 jam sehari? Atau, pernahkah kamu terhambat oleh keterbatasan anggaran, yang memaksa kamu membuat film dengan dana seadanya? Dalam kondisi demikian, mungkinkah kita tetap memproduksi film berkualitas yang memiliki nilai? Yusmita Latif, Dosen JFA, sebagai Pemateri kali ini akan membahas beberapa tips produksi dalam program Beyond De Talk kedua Sewon Screening 11. Topik utama yang diangkat adalah manajemen waktu dalam proyek film pendek, khususnya apakah durasi syuting 12 jam sudah ideal atau tidak.

“Jam kerja industri film masih ngaco,” ujar Yusmita.

Dosen JFA yang akrab disapa Mbak Mita ini memaparkan realitas syuting di industri. Mulai dari perihal budget, lalu deadline yang mepet, dan budaya syuting kelar baru pulang. Dampaknya kru filmmaker pun menjadi kelelahan, bahkan mengalami kecelakaan di jalan, hingga ada yang meninggal. Sejak lama, masalah ini sudah menjadi perhatian ICS, dan SINDIKASI juga pernah mengampanyekan mengenai jam kerja syuting yang melebihi 20 jam.

Menurut Mbak Mita pribadi, ia tidak sepenuhnya setuju dengan durasi kerja syuting 12 jam saklek. Tapi ia juga menolak kebebasan durasi tanpa batas. Karena baginya, keselamatan dan kesehatan kru produksi adalah prioritas.

Strategi Syuting 12 Jam

Dari pada banyak masalah yang terjadi, Mbak Mita pun memberikan siasat dari pengalaman yang ia lakukan untuk kita yang berkeinginan syuting dengan durasi kerja 12 jam.

“Pertama, sutradara harus tau apa yang dia lakukan. Kedua, persiapan pra produksi yang benar-benar harus sudah matang. Ketiga, semua SDM kru paham workflow. Keempat, produser mampu menghadirkan equipment yang proper dan mampu menghadapi force majeure. Sebab, film tidak hanya dikaji dari segi kreatif karya seni saja, tetapi juga membutuhkan peran pemahaman produserial dan manajemen kerja yang benar dari semua divisi,” ucapnya.

Mbak Mita kemudian memaparkan metode syuting Netflix yang mungkin bisa kita contoh. Di mana pada hari-h syuting, semua kru tiba di lokasi tepat waktu, lalu sarapan bersama. Setelahnya, divisi kamera, penyutradaraan, artistik, sound, beserta talent, melakukan blocking set sesuai dengan arahan director. Usai itu, talent meninggalkan set untuk make up, sementara divisi lain melakukan penyesuaian teknis dan setting sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh assistant director. Jika sudah, talent dikembalikan ke set, dan syuting langsung siap dimulai tanpa ada penyesuaian lagi. Jadi, plan pengambilan adegan prioritas harus sudah matang dari pra produksi, bukan ketika syuting berlangsung.

Mbak Mita menyarankan adanya kompromi kreatif, seperti menyederhanakan cerita, treatment kamera, dan artistik. Lalu meringkas jumlah scene, dan mengefisiensi ruang cerita filmnya. Pertimbangan itu dirasa mungkin lebih baik daripada budget yang membengkak saat syuting. Tapi balik lagi ke diri kita, mau memilih syuting kreatif menyesuaikan budget, atau budget yang menyesuaikan idealisme kita.

Mbak Mita juga memberikan saran penting untuk para produser, “jangan hanya berfokus pada membuat film murah, tetapi tetap jaga visi yang dibawa sejak awal.” Seorang produser tidak hanya harus memiliki keahlian manajerial, tetapi juga pemahaman kreatif, agar karya yang dihasilkan tetap memiliki nilai.

Oleh Majesti Anisa

Editor Satya Din Muhammad

Penerjemah Debytha Nela M. V.

Bagikan postingan ini melalui:
Facebook
X
WhatsApp
Telegram
LinkedIn
Komentar • 0

Tulis komentar kamu

Update Terkait