Jadi, Untuk Apa Kerja Keras Kita Membuat Film?

Membuat karya film merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa. Namun, tidak akan ada artinya jika tidak ada yang menonton. Sayangnya, seringkali terjadi pada kita sebagai sineas-sineas muda yang filmnya berhenti setelah proses produksi, sebab tidak ada rencana distribusi yang matang. Padahal, distribusi film adalah jembatan yang sangat penting, terlebih yang senang bukan hanya produser atau sutradara saja, tapi seluruh kru yang terlibat merasakan bahwa perjuangan mereka mendapat bayarannya ketika film itu bisa dinikmati.

Film-nya Bagus, Relate, dan Ngena! 

Menyenangkan rasanya ketika mendapat umpan balik positif dari penonton. Hal itu akan menimbulkan perasaan ingin lagi, lagi, dan lagi untuk membuat karya film. Sebagai seorang pembuat film, kita sama-sama butuh perasaan bahwa film ini bisa berdampak baik bagi banyak orang. Kita akan merasa senang, lalu mengapa kita tidak mencoba untuk membuat satu langkah besar agar film kita bisa ditonton oleh banyak orang?

Urung Distribusi karena Film-nya Jelek?

Kalimat yang memang masuk akal di permukaan tapi perlu kita ulik lebih dalam, bahwasannya anggapan ‘jelek’ itu subjektif, sedangkan yang belum diketahui ketika didistribusikan akan ada banyak pandangan perspektif yang berbeda. Dalam hal ini, ketika kita ingin mendapat feedback yang baik, dan penonton menganggap sebaliknya. Hanya ada masalah perihal bagaimana distribusi itu cocok dengan target penonton sebelum membuat filmnya. Pasti ada target penontonnya kan? Sebagai pembuat film, kita tentu membutuhkan banyak umpan balik, entah itu tanggapan positif maupun kritik yang akan menjadi bahan evaluasi, yang nantinya akan membuat kita berkembang. Tapi ada sebagian pembuat film yang merasa sakit hati ketika mendapat kritik pedas dari penonton. Padahal sejatinya tidak akan pernah ada film yang sempurna dan memuaskan semua pihak. Setiap film memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, itu tergantung selera, harapan, dan interpretasi.

Distribusikan Film Seluas-Luasnya Sampai Bertemu dengan Penonton yang Tepat!

Kita bisa belajar dari era 1990-an, ketika sineas muda mendistribusikan film dengan cara ‘ngamen’. Dalam konteks ini, ngamen bukan berarti bermain musik di jalanan, melainkan menayangkan film secara mandiri lewat jaringan kampus, komunitas, dan ruang-ruang alternatif. Para pelajar saat itu memanfaatkan jejaring pertemanan antar kampus untuk menggelar pemutaran film di berbagai lokasi. Kini, peluang distribusi film semakin terbuka lebar. Ada lebih dari 90 festival film di Indonesia yang dapat diakses secara terbuka, seperti Sewon Screening, Minikino, hingga Festival Film Pelajar. Platform digital pun menjadi kanal baru yang memudahkan distribusi film ke publik. Semua ini menunjukkan bahwa masa depan distribusi film, terutama di kalangan pelajar dan sineas muda tampak cerah. Tantangannya kembali lagi kepada kita sebagai sineas-sineas muda yang nampaknya kesulitan untuk mengalahkan persepsi penonton yang tidak sesuai dengan filmnya. Sebagai generasi yang akan menjadi penerus, diharapkan para sienas memahami betul bahwa membuat karya film juga harus memberikan dampak ke masyarakat.

Belajar Mendistribusikan Film Sebagaimana Kita Belajar Membuat Film.

Kita sebagai sineas muda sangat perlu mulai berpikir strategis, bagaimana membangun jaringan distribusi film, mengakses festival film, menjalin kolaborasi lintas komunitas film, hingga memanfaatkan media sosial dan platform digital. Sudah banyak sekali wadah distribusi, tinggal bagaimana kita belajar caranya agar karya film itu bisa sampai kepada penonton. Karena karya film itu harus hidup, ditonton, menjadi bahan dikusi dan evaluasi. Jika kita hanya diam, film tidak akan berarti apa-apa dan kita tidak akan jadi apa-apa.

Oleh Satya Din Muhammad

Editor Majesti Anisa

Penerjemah Debytha Nela Mv.

Bagikan postingan ini melalui:
Facebook
X
WhatsApp
Telegram
LinkedIn
Komentar • 0

Tulis komentar kamu

Update Terkait

Menu

Arsip

Layanan