Pelabuhan Berkabut (2024): Senandung Ikan dari Kepala Ikan – Bertahan di Tengah Ketimpangan Pangan

Bapak, seringkali dianggap sebagai sosok yang menanggung beban terberat sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga. Bapak harus memastikan kelangsungan hidup anggota keluarganya, memenuhi kebutuhan dasar, melindungi, dan bertahan di tengah tekanan hidup. Namun, bagaimana jika sistem yang ada justru menghalangi kemampuan bapak untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, seperti akses untuk mendapatkan makanan bergizi? Film ‘Pelabuhan Berkabut’ karya Haris Yuliyanto, mengusung persoalan ini dengan metafora kepala ikan, menjadi representasi ketidakadilan dan pengorbanan dalam sistem pangan yang timpang. Ketimpangan ini bisa menjadi masalah serius karena tidak semua orang bisa mendapatkan makanan yang cukup, bergizi, dan terjangkau. Akan timpang, sebab ada wilayah dan kelompok masyarakat yang mudah mengakses makanan sehat dan bergizi, sementara yang lain kesulitan.

Film ‘Pelabuhan Berkabut’ dibuka dengan adegan tiga bapak di pos ronda yang tengah terburu-buru membagi seekor ikan menjadi tiga bagian, yaitu kepala, badan, dan ekor. Salah satu dari mereka protes karena mendapat kepala ikan, bagian yang paling sedikit dagingnya, tapi paling banyak tulang dan durinya. Hal itu membuat sebagian besar orang enggan untuk memakannya. Ibarat bapak sebagai kepala keluarga, menjadi tulang punggungnya, punya beban paling banyak yang harus dihadapi. Dalam film ini, karakter Rozaq menjadi representasi dari kepala keluarga yang tengah terhimpit keadaan ekonomi. Istrinya yang tengah hamil, membutuhkan protein ikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, sekaligus mencegah stunting pada calon bayinya. Namun, akses mendapat makanan bergizi itu terhalang oleh monopoli tengkulak ikan. Bidan yang memeriksa istri Rozaq mengingatkan betapa bahayanya kekurangan gizi bagi ibu hamil dan calon anaknya, tetapi ia juga melarang Rozaq mencari ikan ke pelabuhan karena risiko kekerasan dari tengkulak ikan. Ini menggambarkan dilema rakyat miskin, untuk memenuhi kebutuhan dasar pun mereka harus berhadapan dengan kekerasan struktural. 

Rozaq akhirnya memutuskan hendak mencuri ikan di tempat tengkulak. Tentu Rozaq tahu bahwa tindakan itu berisiko, tetapi tetap ia lakukan demi istri dan calon anaknya. Di sini, resistensi Rozaq bukanlah perlawanan, melainkan pertahanan hidup. Rozaq tidak melakukan protes atau menuntut perubahan sistem, yang ia lakukan hanyalah mengambil secuil dari apa yang seharusnya menjadi hak keluarganya untuk bertahan hidup. Resistensi bertahan seperti ini yang seharusnya menjadi hak dasar setiap orang, justru malah dianggap sebagai kejahatan. Alih-alih membebaskan, hal ini malah membuat lingkaran penindasan semakin menjadi-jadi. 

Adegan paling surreal dalam film ini adalah ketika Rozaq menemukan bapak-bapak yang memakan ikan mentah di dalam kapal, lalu berubah menjadi ikan setelah kabut hijau muncul. Ikan yang dimakan manusia justru berbalik memakan manusia. Ini merupakan kritik terhadap eksploitasi sumber daya alam. Ketika masyarakat miskin berebut mencuri ikan untuk bertahan hidup, sistem kapitalistik yang dijalankan tengkulak ikan justru mengubah mereka menjadi bagian dari rantai eksploitasi itu sendiri. Sementara kabut gas hijau bisa dikaitkan dengan racun kapitalisme yang menggerogoti kemanusiaan. Bapak-bapak yang berubah menjadi ikan mungkin melambangkan masyarakat yang kehilangan identitas aslinya karena tekanan sistem, sementara Rozaq yang menjadi siluman ikan adalah korban yang terjebak di antara manusia dan komoditas yang diperdagangkan.

Bukan perlawanan heroik yang ditunjukkan dalam film ini, melainkan kenyataan pahit bahwa dalam sistem yang timpang, upaya bertahan hidup sekalipun bisa berujung pada pengorbanan diri. Film ini mungkin relevan dengan ketimpangan sistem dan monopoli atas berbagai hal yang masih terjadi hingga kini. Ini juga menyoroti kekerasan struktural yang memaksa orang seperti Rozaq yang mencuri ikan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi tetap dihancurkan oleh sistem yang korup. Bukan sekadar kritik, film “Pelabuhan Berkabut” ini juga menjadi pengingat bahwa tanpa perubahan sistem yang adil, korban seperti Rozaq akan terus dimakan oleh mesin eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan.  

Nantikan lontaran ikan, ikan, ikan Rozaq dalam film “Pelabuhan Berkabut” yang akan tayang pada program Layar Tandang Semarang Sewon Screening 11

Oleh Majesti Anisa

Editor Satya Din Muhammad

Penerjemah Debytha Nela Mv.

Bagikan postingan ini melalui:
Facebook
X
WhatsApp
Telegram
LinkedIn
Komentar • 0

Tulis komentar kamu

Update Terkait

Menu

Arsip

Layanan