Mau tidak mau, kita harus berjalan. Mungkin, kalimat ini tepat untuk menggambarkan bagaimana perempuan yang sudah terjerat ini harus bertahan. Stigma dan dihakimi, sudah menjadi hal yang pasti terjadi dan sikap mereka selalu dipertanyakan. Padahal mereka juga tidak tau harus berbuat apa, terdengar jelas dari narasi yang narasumber bawakan.
Kesitu salah, kesini salah. Dalam kondisi seperti itu, kita hanya bisa pasrah, merasa terkurung dalam sangkar. Bedanya, mereka seperti dalam siklus yang entah berakhir kapan. Terombang-ambing dengan jiwa-jiwa penasaran yang selalu mendikte dan menghakimi. Tidak ada interaksi berkelanjutan untuk saling memahami dan belajar, yang ada hanya stigma yang beredar bahwa apa yang dilakukan adalah kesalahan.
Kenyataan yang diemban, membuat mereka tidak tau lagi harus berbuat apa. Nyatanya, ketika mereka ingin keluar zona-nya, mereka ditolak dan diinjak-injak. Padahal, bukankah sesama manusia harus saling memahami?
Rasa-rasanya Penulis juga terjebak dalam narasi kemirisan dan iba pada film ini. Realitas memang terkadang menciptakan kenyataan yang fana, harus menerima bahwa tidak selalu orang baik yang ada disekitar, yang selalu berkuasa. Ketika melawan, kita dihabisi. Dianggapnya kita adalah penjahatnya.
Sutradara film Bertuhan atau Bertahan nampaknya ingin membuka realitas baru yang terjadi di Cianjur dengan perantara Sarah sebagai narasumber. Narasi yang cukup mengundang rasa simpati dan membuka wawasan selebar-lebarnya mengenai realitas yang terjadi pada perempuan yang terkurung. Sarah, adalah salah satu diantara ratusan juta orang yang juga tengah kebingungan. Penulis berharap, akan banyak muncul kesadaran realitas yang terjadi, terutama pada orang-orang yang tertindas.
Oleh Satya Din Muhammad
Editor Majesti Anisa
Penerjemah Debytha Nela M. V.
Komentar • 0
Tulis komentar kamu
Komentar • 0