Yogyakarta, 22 September 2025 — Sewon Screening 11 kembali menyuguhkan program Beyond de Talk sebagai salah satu acara utama di dekade baru ini. Program ini adalah bincang-bincang berbasis edukasi dan diskusi seputar aspek perfilman yang berkaitan dengan bidang lainnya, bersama para narasumber ahli. Beyond de Talk merupakan pengembangan dari program Cinepedia dan Public Lecture yang sebelumnya ada di Sewon Screening.
Program ini memiliki tujuan yang berbeda dari bincang-bincang sebelumnya. Arah pembicaraannya tidak hanya satu arah, tetapi tiga arah, yaitu dari penonton, pemateri, dan moderator, sehingga lebih interaktif. Beyond de Talk penting untuk sebuah festival film karena menjadi wadah untuk saling berbagi ilmu.
Sesi Beyond de Talk pertama hari ini berlangsung di Ruang AUVI. Topik yang dibahas adalah seputar regulasi AI dan batasan pemanfaatannya dalam berkarya, terutama dalam produksi film. Acara ini menghadirkan Motulz Anto Dwi Santoso, seorang Creative Advisor dan Tenaga Ahli Kementerian Komunikasi dan Digital RI, sebagai pemateri. Selain itu, Cahya Gumilang hadir sebagai moderator. Cahya adalah salah satu mahasiswa Film dan Televisi ISI Yogyakarta angkatan 2021 yang tengah mendalami konten AI dan telah mendapatkan penghasilan dari sana.
“AI hari ini, makin hari, makin seru. Tapi juga mendebarkan dan mencemaskan,” ujar Motulz membuka sesi.
Sebagai awalan, Motulz menampilkan filmnya yang dibuat menggunakan AI dan telah tayang di TVRI tahun lalu, lalu membagikan pengalamannya dalam proses pembuatan karya tersebut. Setelah itu, Motulz memaparkan materi dengan santai dan menarik tentang beberapa poin, mulai dari pro dan kontra AI, masalah hak cipta, contoh negara yang sudah peduli dengan AI, praktik terbaik dalam produksi film, hingga situasi di Indonesia.
Motulz menyimpulkan, dunia global sudah memiliki kontrak dan etika terkait AI, dan negara-negara maju telah membuat aturan ketat terkait berkarya menggunakan AI. Sementara itu, di Indonesia, regulasinya masih tahap awal, baru ada UU ITE, PDP, dan etika AI. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa asosiasi keprofesian dan rumah produksi perlu siap dengan kebijakan internal.
Setelah pemaparan, beragam pertanyaan datang dari para hadirin dan moderator. Pertanyaan yang diajukan antara lain tentang cara mengisi kekosongan regulasi AI di Indonesia, apakah regulasi internasional bisa diseragamkan, bagaimana ruang pekerjaan teknis jika AI meluas di dunia perfilman, cara membatasi AI agar tidak mengurangi sentuhan personal sutradara, siapa yang dianggap pemilik hak cipta ketika sebagian karya dibuat dengan AI, serta bagaimana AI menggantikan pekerjaan manusia, khususnya di pemerintahan. Motulz menjawab setiap pertanyaan dengan lugas.
“AI tidak kreatif, yang kreatif itu kita. Kita yang mengarahkan dia untuk mengembangkan ide kita. Tapi AI belum bisa memberikan rasa human value,” kata Motulz saat menjawab pertanyaan mengenai menulis cerita menggunakan AI.
Ia menambahkan bahwa AI sebaiknya dijadikan sebagai alat dan mitra. Cahya pun bertanya tips agar tidak kecanduan menggunakannya. Motulz mengungkapkan bahwa ia menentang penggunaan AI pada anak SD dan SMP, karena otak mereka masih berproses dan butuh menerima kesalahan serta kegagalan, sesuatu yang dihilangkan oleh AI. Oleh karena itu, ia meminta mahasiswa untuk berhati-hati agar tidak ketergantungan pada AI, karena itu adalah jebakan. Ia mengajak mahasiswa untuk mencari solusi tetap lewat critical thinking, yaitu kemampuan berpikir kritis, solutif, dan kreatif.
“Sebelum ke AI, temukan dulu lima kendala atau kekurangan yang paling dirasakan dari diri kalian. Dari lima itu, masing-masing kamu tahu keperluanmu dengan bantuan AI,” ujar Motulz, memberikan wejangan agar para hadirin tidak tergerus percepatan saat mengeksplorasi AI.
Acara ditutup dengan penyerahan piagam dari Sewon Screening untuk Motulz dan Cahya, dilanjutkan dengan sesi foto bersama.
“Sangat antusias. Topik yang dibahas ini, yaitu tentang AI, memang lagi hangat diperbincangkan di dunia kreatif, baik di perfilman dan lain-lain,” ujar Dona Sabatina dari Studio Nyala Lampung saat ditanyai kesannya. “Tadi sedikit membuka dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di diri kita tentang masalah AI itu.”
“Kami memilih topik AI karena, seperti yang kita tahu, sekarang banyak sekali AI yang bahkan bisa membuat film sendiri. Kami ingin mencari tahu apakah AI ini masuk akal dalam dunia film, dan jika AI menguasai, lantas orang-orang film akan melakukan apa. Kami mengundang Mas Motulz karena beliau memiliki latar belakang yang kuat dalam AI dan memahami soal kreativitas. Akhirnya, terkuak bahwa pada akhirnya AI itu hanya dijadikan mitra, bukan yang menguasai. Ide kreatif tetap berasal dari manusia,” jelas Rianty Andjani selaku Ketua Program Beyond de Talk, saat ditanyai alasan pemilihan topik. Ia berharap para hadirin menjadi lebih bijak dan tetap lebih kreatif dalam penggunaan AI.
Oleh Majesti Anisa
Editor Satya Din Muhammad
Penerjemah Debytha Nela M. V.
Komentar • 0
Tulis komentar kamu
Komentar • 0