Shinta Dating His Beloved Shint’a (2024): Secuil Cerita Kehidupan Jalanan

Apa jadinya jika kisah cinta klasik seperti Ramayana tidak lagi digambarkan di atas panggung megah, melainkan berpijak pada realitas yang kasar dan keras di tengah riuh jalanan kota, di balik kostum tradisional yang lusuh, di antara deru kendaraan dan lampu-lampu jalan yang tak pernah benar-benar redup?

Shinta Dating His Beloved Shint’A adalah reinterpretasi liar namun menggetarkan dari kisah legendaris Rama dan Shinta. Namun disini, tak ada istana, tak ada kerajaan, tak ada senjata sakti. Yang ada hanyalah sepasang kekasih Rama dan Shinta yang bekerja sebagai pengamen jalanan. Mereka menari, mengenakan kostum adat Jawa yang sederhana, menyajikan sepotong budaya di atas aspal yang penuh debu dan kebisingan. Saat malam hari, mereka beristirahat di alun-alun kota, berbagi kehangatan di antara dingin dan lelah.

Namun di balik narasi yang tampak sederhana, film ini menyimpan kompleksitas emosi dan konflik yang mendalam. Saat Rama mulai memaksakan kehendak, tanpa menyisakan ruang untuk suara Shinta, penonton diajak menelusuri bagaimana hubungan yang tampak manis bisa berubah menjadi perang batin yang sunyi. Keadaan menjadi semakin rumit ketika hadir sosok Rahwana, bukan sebagai raksasa penculik dalam dongeng, tapi sebagai figur maskulin lain yang, sama buruknya, berusaha mengontrol tubuh dan pilihan Shinta.

Yang membuat film ini mencolok adalah pendekatan estetikanya yang berani. Alih-alih musik yang harmonis, film ini memilih menggunakan bunyi-bunyi urban yang mengganggu dentuman kendaraan, suara gaduh pasar malam, keributan untuk menggambarkan kekacauan batin Shinta. Beberapa adegan bahkan direkam dengan teknik slow shutter speed, menciptakan efek visual yang kabur, terdistorsi, nyaris memabukkan seolah penonton diajak masuk ke ruang ketidaknyamanan yang dialami tokoh utama.

Dalam dunia yang gemar mengagungkan cinta dalam bentuk kepemilikan, Shinta Dating His Beloved Shint’A hadir sebagai tamparan. Ia mempertanyakan: Di mana batas antara cinta dan dominasi? Apakah setiap bentuk perhatian selalu berarti kasih sayang? Dan bagaimana seorang perempuan bisa melawan saat tubuh dan pilihannya direbut dua kali oleh dua lelaki yang mengaku mencintainya?

Film ini adalah perlawanan lembut tapi tajam. Ia bukan hanya memaknai ulang kisah klasik, tapi juga membuka ruang bagi diskusi yang lebih luas tentang relasi kuasa dalam cinta, suara perempuan, dan siapa sebenarnya yang punya kendali atas tubuh dan hidupnya.

Saksikan film Shinta Dating His Beloved Shint’A dalam program Layar Tandang Semarang, pada 20 Juni 2025. Jangan lewatkat dinamika tarian hidup dari Shinta.

Oleh Ana Wina

Editor Satya Din Muhammad

Penerjemah Debytha Nela Mv.

Bagikan postingan ini melalui:
Facebook
X
WhatsApp
Telegram
LinkedIn
Komentar • 0

Tulis komentar kamu

Update Terkait

Menu

Arsip

Layanan