Memahami AI sama Seperti Orang Zaman Dahulu Memahami Internet

Seperti yang telah kita ketahui, teknologi Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berbagai perusahaan pengembang, baik skala global maupun lokal, terus-menerus meluncurkan inovasi dan perangkat terbaru yang semakin membuat kagum tak berkutik. Bahkan, tidak sedikit pandangan/argumen yang menyatakan bahwa percepatan inovasi ini pada akhirnya akan membawa teknologi AI ke dalam hampir seluruh sektor industri dan kehidupan. Dibalik kemajuan dan kecepatan teknologi ini banyak sekali kontroversi yang menyertainya, banyak masyarakat yang menerima, tetapi banyak juga masyarakat yang menolak.

Alasan penerimaan masyarakat pada perkembangan AI adalah pemikiran dimana AI sebagai terobosan baru yang membantu dalam efisien mengerjakan pekerjaan, memberi akses informasi dengan cepat, dan memberi lapangan pekerjaan baru. Ini berbanding terbalik dengan pendapat masyarakat yang menolak AI, mereka cenderung khawatir teknologi ini akan menggantikan peran mereka dalam bekerja, bersosialisasi, dan ancaman terhadap privasi. Mereka juga khawatir akan efek candu yang berdampak pada cara berpikir kritis, kreatif dan solutif. Kekhawatiran masyarakat yang menolak ini wajar dan bukanlah sesuatu yang irasional atau sekadar takut akan perubahan. Sebagian besar kekhawatiran ini didasarkan pada risiko yang nyata dan sudah terlihat dalam beberapa kasus. Lantas sebenarnya apakah teknologi Artificial Intelligence (AI) ini harus diterima atau ditolak, dan bagaimana dampaknya untuk pekerja industri kreatif yang dekat dengan kita?

Menurut Motulz Antodwi Santoso, seorang creative advisor dan tenaga ahli di Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (KOMDIGI), pandangan terhadap kecerdasan buatan atau AI haruslah terbuka. Dalam sebuah wawancara di program Sewon Screening 11 dengan tema “Beyond de Talk” yang membahas regulasi AI, Motulz menyampaikan bahwa AI adalah teknologi global yang sedang berkembang pesat. Ia mengakui bahwa tidak semua orang harus menerima AI, tetapi menolak secara mentah-mentah dan berpaling darinya justru sangat berbahaya. Motulz mengibaratkan, jika kita terus-menerus memalingkan muka dari perkembangan ini, kita bisa saja mendapati diri kita tertinggal sendirian, jauh di belakang. Motulz juga menekankan bahwa AI merupakan teknologi yang menjadi jatah bagi generasi saat ini, terutama Gen Z, ini sangat berbeda dengan era generasi-generasi sebelumnya. Ia juga memberi opini bahwa sifat AI sebenarnya sebagai alat rekam dan generatif yang bisa menjadi mitra untuk mempermudah pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Karena AI tidak akan berjalan tanpa perintah manusia, dimana manusia tetap mempunyai value sebagai Creator, sedangkan AI berperan sebagai alat pembantu. Tentang kekhawatiran yang mungkin timbul, seperti potensi AI yang menyusahkan atau menimbulkan kontroversi, Motulz menyarankan agar kita tidak menyerah begitu saja. Ia mengajak kita untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut, karena justru dari kebutuhan/tantangan itulah siapa tahu kita bisa menemukan jalan keluar nantinya.

Perkembangan Artificial Intelligence (AI) ibaratnya seperti datangnya era internet dahulu, sebuah teknologi tak terelakkan yang membawa serta dua sisi mata uang, yaitu kemudahan dan ketakutan. Alih-alih memilih untuk sepenuhnya menerima atau menolak, kita harus menyikapinya dengan lebih hati-hati. Pada nyatanya kita perlu mengakui manfaat nyata AI sebagai alat yang dapat meningkatkan efisiensi dan membuka peluang baru, khususnya di industri kreatif. Namun, di saat yang sama, kekhawatiran tentang dampak sosial dan etikanya harus ditanggapi dengan serius melalui edukasi, regulasi yang jelas, dan penguatan skill manusia yang tidak tergantikan oleh mesin, seperti empati, pemikiran kritis, dan kreativitas yang otentik. Dengan demikian, kita tidak menjadi anti perubahan, juga tidak menjadi naif. Kita harus membentuk sebuah masa dimana teknologi AI hadir sebagai mitra yang membantu, bukan sebagai creator yang menggantikan peran utama manusia.

Oleh Cheryl Nadia Fawwaz

Editor Satya Din Muhammad

Penerjemah Debytha Nela M. V.

Bagikan postingan ini melalui:
Facebook
X
WhatsApp
Telegram
LinkedIn
Komentar • 0

Tulis komentar kamu

Update Terkait