Enam Djam di Jogja (1951) — Jaga Apinya! Meski Dipukul Seribu Kali, Gerilya Tak Akan Mati.

Baru beberapa saat yang lalu, kita mendengar kabar, kita mendapati, mungkin bahkan menyaksikan, maupun mengikuti aksi demo yang digerakkan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di Jogja. Mereka berkumpul, berunding, bersiap melontarkan aspirasinya di hadapan aparat pemerintah. Tujuannya sama, mereka ingin didengar, mereka ingin beberapa hal yang ada di sistem dibenahi, diubah, mereka menuntut keadilan. Diketahui aksi resistance itu berlangsung selama lebih dari lima jam. 

Jika ditarik mundur, tepatnya 76 tahun lalu, di tanah yang sama, juga ada pergerakan serupa. Serangan besar-besaran, rakyat serentak melawan Belanda, berlangsung selama enam jam. Setahun setelah kejadian itu, Usmar Ismail menangkap realitas ini lewat filmnya, Enam Djam di Jogja. Sebagai film kedua yang diproduksi oleh perusahaan film nasional, film hitam-putih ini berhasil menangkap esensi perjuangan dari kacamata rakyat yang bertahan di tengah pendudukan Belanda pasca Agresi Militer II 1948.

Film ini langsung menyergap kita dengan menampilkan suasana muram Yogyakarta, ibu kota Republik saat itu, yang masih diduduki Belanda. Suasana tegang, hanya dipecah oleh deru truk dan kendaraan lapis baja milik Belanda. Di balik kesunyian itu, semangat perlawanan sedang membara. Alih-alih menonjolkan figur tunggal, film Enam Djam di Jogja ini memilih fokus pada sekelompok orang biasa. Ada Mochtar yang menjadi Wartawan pejuang bawah tanah, Hadi yang seorang Tentara, Endang seorang laskar wanita, dan Wiwiek selaku adik Hadi. Melalui merekalah kita menyaksikan kompleksitas dan dilema pendudukan.

Film ini dengan jujur menunjukkan bahwa perjuangan tidak hanya melawan Belanda, tetapi juga melawan keputusasaan dan kelaparan. Realitas ekonomi inilah yang menggerus patriotisme sebagian orang, seperti Sutedjo alias Ted yang memilih menjadi tentara NICA dengan alasan realistis, bahwa perang hanya menguntungkan pimpinan, tapi menyusahkan rakyat biasa. Masalah ini bahkan menyentuh keluarga Hadi, dimana sang bapak ingin bekerja lagi untuk Belanda demi memenuhi kebutuhan pangan, sebuah dilema yang ditentang keras oleh ibu dan anak-anaknya.

Dimensi lain yang menarik adalah peran sentral perempuan dalam perjuangan. Mereka menjadi pejuang inti pada film ini. Ada yang berperan sebagai pelayan restoran yang sekaligus kurir rahasia pejuang. Di dalam salah satu scene yang menarik ada salah satu karakter dengan berani menyuplai makanan dan menyembunyikan pejuang yang diburu oleh Belanda. Benar, sangat ironis kejadian pada saat itu.

Untungnya, Usmar Ismail juga menghindari glorifikasi berlebihan dalam film ini. Karena di film ini ditunjukkan bahwa pahlawan pun bisa memiliki kekurangan, seperti adegan segelintir gerilyawan yang memeras rakyat kelas bawah. Tidak hitam-putih dalam menilai musuh, tangan-tangan kasar yang melecehkan rakyat seringkali adalah orang Indonesia sendiri yang membelot ke Belanda.

Dari segi teknis, tentu film ini memiliki keterbatasan. Kualitas gambar yang sudah buram dan suara yang bergemerisik menjadi tantangan bagi penonton terkini. Namun, justru di situlah letak asiknya. Film ini dibuat hanya enam tahun setelah kemerdekaan, di tengah segala keterbatasan dana dan teknologi sebagai bangsa yang baru lahir dan masih berperang. Semangat membara Usmar Ismail dan para sineas perintis untuk ikut berjuang melalui film ini, terasa sangat kuat.

Enam Djam Di Jogja ini tentang Serangan Umum 1 Maret 1949. Film ini menunjukkan ketahanan, dilema moral, semangat kolektif, dan pengorbanan orang-orang biasa yang namanya mungkin tidak tercatat di buku sejarah. Film ini dengan gamblang menyampaikan pesan bahwa keberhasilan serangan itu adalah hasil kerja sama erat antara rakyat, tentara, dan pemerintah. “Selama Merapi masih berapi, walau dipukul seribu kali, semangat gerilya tak akan mati.”

Film Enam Djam di Jogja akan tayang pada program Layar Pembuka Sewon Screening 11.

Oleh Majesti Anisa

Editor Satya Din Muhammad

Penerjemah Debytha Nela M. V.

Bagikan postingan ini melalui:
Facebook
X
WhatsApp
Telegram
LinkedIn
Komentar • 0

Tulis komentar kamu

Update Terkait